Sekali Lagi, Mimpi Itu dikandaskan Arsenal
Bicara soal nama besar, Arsenal sebenarnya bukan kesebelasan pupuk bawang di kancah sepakbola Inggris. Belasan titel Liga Inggris (era lama maupun Premier League) serta Piala FA menjadi bukti sahihnya. Bahkan pada 2003/2004 silam, The Gunners mengukir sebuah rekor ikonik yang belum terpecahkan sampai sekarang yakni memenangkan liga dengan catatan tanpa kekalahan sepanjang musim. Wajar bila tim yang dihuni Dennis Bergkamp, Thierry Henry dan Patrick Vieira kala itu disebut The Invincibles.
Tahun ini, momentum untuk kembali menahbiskan diri sebagai salah satu klub besar di Eropa kembali kandas. Pasalnya, Arsenal dipastikan gagal melaju ke babak final liga Champions setelah dikalahkan oleh PSG di stadion Park de Princes Paris, Prancis. Sebagai fans Arsenal, kekalahan kontra PSG di babak semi final terasa sangat menjengkelkan. Final sudah di depan mata, asa untuk merebut piala 'si kuping besar' tinggal 2 langkah lagi, peluang itu gagal dioptimalkan. Nama besar tinggal nama besar.
Jika flashback ke belakang, tepatnya ketika masih usia SMP, boleh dikata saya pengagum (lumayan) berat Arsenal. Terus terang, saya dibuat jatuh cinta oleh filosofi bermainnya. Yang buat saya bukan sekedar mengejar kemenangan, tapi ada value, ada simpati untuk memberikan penampilan terbaik buat penggemar. Bermodalkan pemain muda, filosofi ball possesion, passing-passing pendek dan high press tinggi terasa sangat keren ketika ditonton. Amboi! sungguh menawan permainannya. Berbekal kecintaan ini, sewaktu SMP, saya mendaftarkan diri sebagai anggota SSB di Pamekasan. Waktu itu, pemain yang saya idolakan adalah Theo Walcott, pemain muda yang digadang-gadang akan menjadi rising star di usia matang. Saya coba tiru cara bermainnya sewaktu bermain di SSB.
Berlanjut masuk pondok pesantren, intensitas bermain bola saya kurangi, karena saya beranggapan waktunya fokus belajar di pesantren. Tapi kecintaan terhadap Arsenal masih tetap sama. Setiap kali ada koran datang ke asrama, tentu berita pertama kali yang diburu adalah halaman sport. Setiap kali ada berita Arsenal, saya tergerak untuk segera membacanya. Berita yang paling membahagiakan waktu itu adalah kepindahan Mesut Ozil dari Real Madrid ke Arsenal. Come to be a winner waktu itu pikirku. Mesut Ozil dengan kualitas passingnya benar-benar membuat permainan Arsenal semakin hidup, Arsenal dengan ciri khas ball possesion & passing pendek betul-betul menjelma klub Inggris yang merepotkan lawan-lawannya.
Kini, sudah 20 tahun Arsenal puasa gelar EPL yang diawal tahun 2000an begitu dominan di Inggris. Padahal, momentum magis itu sangat ditunggu-tunggu oleh fans di gelaran liga Champions tahun ini. Selain itu, 3 tahun ke belakang Arsenal selalu finish sebagai Runner-up liga. Mungkin benar kata mbak Najwa Shihab, mendukung dan mencintai Arsenal kadangkala tidak butuh penjelasan. Karena perasaan mencintai yang tulus, tidak cukup dijelaskan dengan kata-kata saja. Bagi saya, mendukung Arsenal artinya belajar arti kesetiaan, arti kesabaran dan arti idealisme. Karena biasanya, sesuatu yang besar dan hebat tidak datang dari proses yang sebentar. Trust the process. Come On Your Gunners. Sudah dulu ya netizen. Waktu & tempat kami persilahkan. []
Tahun ini, momentum untuk kembali menahbiskan diri sebagai salah satu klub besar di Eropa kembali kandas. Pasalnya, Arsenal dipastikan gagal melaju ke babak final liga Champions setelah dikalahkan oleh PSG di stadion Park de Princes Paris, Prancis. Sebagai fans Arsenal, kekalahan kontra PSG di babak semi final terasa sangat menjengkelkan. Final sudah di depan mata, asa untuk merebut piala 'si kuping besar' tinggal 2 langkah lagi, peluang itu gagal dioptimalkan. Nama besar tinggal nama besar.
Jika flashback ke belakang, tepatnya ketika masih usia SMP, boleh dikata saya pengagum (lumayan) berat Arsenal. Terus terang, saya dibuat jatuh cinta oleh filosofi bermainnya. Yang buat saya bukan sekedar mengejar kemenangan, tapi ada value, ada simpati untuk memberikan penampilan terbaik buat penggemar. Bermodalkan pemain muda, filosofi ball possesion, passing-passing pendek dan high press tinggi terasa sangat keren ketika ditonton. Amboi! sungguh menawan permainannya. Berbekal kecintaan ini, sewaktu SMP, saya mendaftarkan diri sebagai anggota SSB di Pamekasan. Waktu itu, pemain yang saya idolakan adalah Theo Walcott, pemain muda yang digadang-gadang akan menjadi rising star di usia matang. Saya coba tiru cara bermainnya sewaktu bermain di SSB.
Berlanjut masuk pondok pesantren, intensitas bermain bola saya kurangi, karena saya beranggapan waktunya fokus belajar di pesantren. Tapi kecintaan terhadap Arsenal masih tetap sama. Setiap kali ada koran datang ke asrama, tentu berita pertama kali yang diburu adalah halaman sport. Setiap kali ada berita Arsenal, saya tergerak untuk segera membacanya. Berita yang paling membahagiakan waktu itu adalah kepindahan Mesut Ozil dari Real Madrid ke Arsenal. Come to be a winner waktu itu pikirku. Mesut Ozil dengan kualitas passingnya benar-benar membuat permainan Arsenal semakin hidup, Arsenal dengan ciri khas ball possesion & passing pendek betul-betul menjelma klub Inggris yang merepotkan lawan-lawannya.
Kini, sudah 20 tahun Arsenal puasa gelar EPL yang diawal tahun 2000an begitu dominan di Inggris. Padahal, momentum magis itu sangat ditunggu-tunggu oleh fans di gelaran liga Champions tahun ini. Selain itu, 3 tahun ke belakang Arsenal selalu finish sebagai Runner-up liga. Mungkin benar kata mbak Najwa Shihab, mendukung dan mencintai Arsenal kadangkala tidak butuh penjelasan. Karena perasaan mencintai yang tulus, tidak cukup dijelaskan dengan kata-kata saja. Bagi saya, mendukung Arsenal artinya belajar arti kesetiaan, arti kesabaran dan arti idealisme. Karena biasanya, sesuatu yang besar dan hebat tidak datang dari proses yang sebentar. Trust the process. Come On Your Gunners. Sudah dulu ya netizen. Waktu & tempat kami persilahkan. []
Komentar
Posting Komentar