Rumah & Cerita Duka (Bagian 1)


(Cerpen ini diterbitkan dalam sebuah antologi bersama)

Pagi ini adalah pagi seperti biasa bagi kebanyakan manusia di muka bumi, kesibukan yang dibuat-buat, kesibukan yang membosankan. Tapi tidak dengan keluarga Dria, mereka merencanakan perjalanan, melihat alam nan hijau lebih dekat, berkumpul bersama keluarga adalah impian Dria sedari dulu, hari ini impian itu terkabul “Ah, betapa indahnya,” ucap Dria pelan.

semenjak itu, senyum Dria semakin lepas, Dria sangat bahagia saat ayahnya tak lagi disibukkan dengan dunia kerja, ada kehangatan yang tak bisa di ungkapkan oleh kata, ah, begitu indahnya dekapan keluarga kecil.

“Ayah jangan lama-lama perginya,” ucap Dria sembari memainkan jarinya. “Ayah perginya tidak lama,” ayah Dria menimpali. tatapan mereka beradu seakan mereka tak akan pernah kembali bertemu. Suara mobil semakin menjauh, angin pagi serasa tak sejuk bagi Dria sebab ayah yang sangat ia cintai harus pergi untuk kembali bekerja. di saat seperti itu Dria memilih bermain bersama teman sejawatnya, kadang juga memilih melupakan lalu hilang dari keramaian.

Ayah kapan balik ke rumah, Bu?” “Bulan depan nak, Doakan saja yang terbaik!” “Lama sekali, Bu?” “Ayahmu itu tentara, Kesibukannya selalu menumpuk, Negara membutuhkan tenaganya”.

Dria memilih meninggalkan rumah dengan sejuta perasaan khawatir perihal keadaan ayah tercintanya, langkah Dria begitu gontai ia tak lagi semangat menjalani hari. Sepekan setelah ayahnya pergi, Dria mencoba menghubunginya via telepon seluler, namun handphone ayahnya selalu tidak aktif. setelah mencoba menghubunginya berulang-ulang, tiba-tiba ada orang mengangkat telepon selulernya. percakapan terjadi antara Dria dan orang yang tak ia kenali.

“ Assalamualaikum, Pak, bagaimana kabar ayah saya di sana?” Tiba-tiba suara tangis terdengar dari seberang telepon “Maaf Nak, ayahmu tidak tertolong setelah melaksanakan tugasnya”.

Sepersekian detik, waktu seakan berhenti melaju, burung tak lagi indah dengan kepakan sayapnya, desiran angin tak lagi romantis untuk didengar. Dria menangis sejadi-jadinya, suara di seberang telpon tak lagi ia hiraukan, ia lempar handphone kuat-kuat. kejadian itu mampu memporak-porandakan kebahagiaan yang sudah dibangun, ayahnya yang menjadi sumber inspirasi kini pergi jauh dan tak akan pernah kembali.

Sinar mata Dria mulai redup, harapan yang coba ia bangun bersama ayah kini tinggal cerita, tak ada lagi tawa, air mata Dria terus mengalir. setiap senjakala, biasanya sang ayah menulis puisi lantas membacanya penuh khidmat setelah itu ia memotivasi Dria untuk menjadi pribadi yang tegar menjalani hidup. kini semua cerita itu tinggal kenangan, deraian tangis yang tak berkesudahan, tatapan Dria kosong setiap kali senja datang “Senja tak lagi indah,” begitu gumam dria.

Sesekali Dria pergi ke taman kota, melihat hiruk pikuk keramaian, tujuannya mengobati luka, namun luka tak kunjung sembuh malah semakin parah. Di tengah badai terpaan, Dria, ibu dan adik laki-lakinya yang masih kecil memilih pulang ke kampung halaman, memilih pulang adalah jalan terbaik, tidak ada jalan lain!.

Sesampainya di kampung halaman, ibu Dria tertatih-tatih membangun keluarga kecil, harga kebutuhan primer membumbung tinggi, ibu Dria kebingungan untuk menutupi kekurangan. Karena keterbatasan itulah ibu Dria mencoba kesana kemari mencari pekerjaan yang cocok tanpa harus mengurangi perannya sebagai kepala keluarga sekaligus ibu. namun nasib berkata lain, pekerjaan yang ia harapkan tak kunjung didapat, akhirnya tekadnya bulat untuk kerja serabutan, apapun pekerjaan itu, yang ia harapkan cuma satu, membantu kondisi ekonomi keluarga yang tengah terpuruk.

Seiring berjalannya waktu, ekonomi keluarga mulai membaik, Dria melanjutkan studi SLTP dekat rumahnya,. “Nak, belajar yang rajin ya, Ingat ayamu melihat dari jauh”. “Iya, Bu, tolong terus semangati Dria”. Dria berjalan penuh semangat pada hari pertama, angin sepoi-sepoi turut menemani langkahnya, kupu-kupu seakan menyapa, suasana kampung begitu sejuk, berbeda jauh dengan suasana di kota.

“Dria, tunggu!” sapa seorang teman dari kejauhan “Iya, Rangga cepetan!” percakapan terjadi di antara keduanya “Kamu masuk kelas berapa?” “Saya kelas delapan, kamu sendiri kelas berapa Rangga?” “Saya kelas sembilan, saya kakak kelas kamu”.

Setelah keduanya ngobrol panjang lebar, saling tanya satu sama lain, tak terasa mereka sampai di gerbang sekolah, perasaan cemas, was was, malu membuncah, karena hari ini adalah kali pertama Dria masuk sekolah baru. Dria masuk kelas, tak lama berselang, Dria dipersilahkan maju memperkenalkan diri di depan kelas, suasana kelas hening, tak bersuara.

“Perkenalkan nama saya Dria Ananta”. Suasana kelas masih hening “Saya murid pindahan dari sekolah SLTP di kota”. Salah seorang di antara murid di kelas memberanikan diri untuk bertanya. “Kenapa pindah ke kampung Dria, apakah sekolah di kota sudah tidak cocok?”. Tiba-tiba Dria meneteskan air mata, kenangan bersama ayah menghantam Dria bertubi-tubi, sepersekian menit suasana kelas kembali sunyi, satu dua menit berlalu, Dria mulai membuka mulut. “Saya sedang mencari suasana baru, teman baru, lingkungan sejuk seperti ini tidak saya dapatkan di kota”.

Namun, kebanyakan teman sekelasnya tidak yakin perihal alasan dria, seperti di buat-buat, berbagai pertanyaan mucul dalam benak teman baru Dria, kenapa meneteskan air mata? ada apa dengan Dria? siapakah dia sebenarnya? (Bersambung)

Komentar

Postingan Populer