Pemuda Hidayatullah Memimpin Indonesia; Sebuah Refleksi Keyakinan
(Esai ini mendapatkan Juara 1 se Nasional yang diselenggarakan oleh PP Pemhida dalam rangka HUT RI ke 77 dan menyambut Silatnas)
Bulan ini, segenap rakyat Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke 78. Jika kita ibaratkan usia manusia, adalah sebuah usia yang tidak lagi muda. Usia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Usia yang boleh dikata cukup untuk memberikan nasihat bijak kepada mereka yang masih terlampau muda. Jika kita kembali membuka lembaran sejarah, tepatnya 78 tahun yang lalu, ada banyak kisah heroik disaat para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Misal, kisah Bung Tomo dengan pidatonya yang fenomenal menggerakan arek Suroboyo dan pemuda lainnya di Jawa Timur untuk melawan penjajah.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 10 November 1945. Saat itu, Indonesia secara de facto sudah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Tetapi tentara sekutu datang dan diam-diam ingin kembali menguasai Indonesia. Hal demikian membuat rakyat Indonesia khususnya rakyat Surabaya berang. Waktu itu, suasana Surabaya mencekam hingga tepat pada tanggal 10 November 1945 tentara Inggris mengultimatum rakyat Indonesia untuk menyerahkan senjata. Tetapi hal itu ditanggapi dengan perlawanan. Inilah puncak perlawanan rakyat Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo menggerakan Pemuda dan masyarakat dengan orasinya yang berapi-api diiringi pekikan takbir di akhir pidato. “Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar, percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!”
Dari kisah ini, kita bisa memetik hikmah yang sangat berharga, bahwa Indonesia bisa merdeka tidak lain berkat perjuangan pahlawan yang tidak kenal lelah. perjuangan dengan penuh percaya diri, perjuangan yang dibarengi sikap tawakal kepada Allah bahwa kemenangan akan selalu diberikan kepada pihak yang benar. Sebagai rakyat Indonesia, kita mewarisi semangat itu. Perjuangan yang dibarengi sikap religius yang tinggi. Sikap itu, harusnya menjadi modal masyarakat Indonesia untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Kini, 78 tahun sudah Indonesia bebas dari belenggu penjajah. menikmati manisnya buah perjuangan pahlawan. Seperti ilustrasi singkat diatas, usia 78 tahun bukanlah usia muda. Patut menjadi pertanyaan refleksi, sudahkah kita merdeka dengan sebenar-benarnya makna merdeka serta sesuai dengan cita-cita kemerdekaan?
Potret Kepemimpinan Nasional
Dalam alinea keempat yang termaktub pada pembukaan undang-undang dasar (UUD) I945 diuraikan bahwasanya, tujuan kemerdekan adalah melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Pertanyaan paling fundamental, sudahkan cita-cita tersebut mampu diwujudkan? Jika kita objektif, jawabannya pasti belum. Mungkin –realitas di lapangan—poin pertama sudah mampu diwujudkan meskipun dalam praktiknya belum optimal. Fakta diatas memunculkan pertanyaan lanjutan, apa penyebab utama sehingga cita-cita itu belum mampu diwujudkan? Jika dianalisis dengan cermat, ada sejumlah persoalan kaitannya dengan cara-cara memperoleh kekuasaan di negeri ini (praktik politik). Sebut saja, politik uang atau lazim dikenal dengan money politic.
Di Indonesia, politik uang tidak sekadar eksis, melainkan marak dan masif. Sampai-sampai pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi menuliskan dalam bukunya Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery (2019) dengan mengutip pernyataan salah satu mantan anggota DPR yang diwawancarainya. Bunyi pernyataannya begini: “potong jari saya apabila terdapat anggota legislatif saat ini yang terpilih tanpa melakukan pembelian suara!” Pernyataan tersebut menunjukan bahwa pembelian suara, yang lazim disebut dengan politik uang (money politics), eksis dalam politik Indonesia. Akibat dari proses politik yang dilalui dengan jalur transaksional akan memunculkan persoalan lanjutan yaitu korupsi. Uang yang dikeluarkan pada saat pemilu akan diupayakan untuk balik modal atau bahkan surplus dengan melakukan korupsi anggaran negara. Akhir tahun lalu, Transparency International, sebuah lembaga non pemerintah berskala internatonal yang kredibel merelease hasil surveinya menempatkan Indonesia di posisi ke lima sebagai negara terkorup di Asia tenggara. Alhasil dampak perilaku korup tersebut membuat semakin melebarnya ketimpangan sosial-ekonomi di tengah masyarakat.
Berdasarkan laporan Oxfam dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang dipublikasikan pada Februari 2017, “dalam dua dekade terakhir, ketimpangan antara kelompok terkaya dan kelompok yang lain di Indonesia mengalami peningkatan yang lebih cepat dibanding dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Jumlah miliuner di Indonesia meningkat cepat dari satu orang pada tahun 2000 menjadi 20 orang pada tahun 2016. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari 100 juta penduduk termiskin.” Bahkan, dari saking banyaknya kekayaan para miliuner ini, jumlah uang yang mereka hasilkan cukup untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Suatu ketimpangan antar masyarakat yang bukan sekadar ketimpangan biasa, melainkan ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat ekstrem. Memajukan kesejahteraan umum yang merupakan bagian dari cita-cita kemerdekaan masih jauh panggang dari api. Yang terjadi justru yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan, penyebab utama ketimpangan sosial-ekonomi ini karena cara-cara memperoleh kekuasaan/praktik politik yang tidak baik dan laiknya mata rantai yang sulit diputus. Praktik politik yang tidak selaras dengan semangat perjuangan pahlawan; ketulusan dan kejujuran.
Kultur Kepemimpinan Pemuda Hidayatullah; Sebuah Gagasan
Sejak kelahiraanya, Pemuda Hidayatullah mempunyai visi membangun generasi Rabbani. Sebuah visi yang memadukan dimensi spiritualitas dan intelektualitas dalam satu tarikan nafas. Visi besar diiringi cita-cita yang besar. Berikutnya, yang menarik dari Pemuda Hidayatullah adalah kultur pemilihan pemimpin dan proses kepemimpinan yang berjalan. Tidak seperti proses pemilihan pada umumnya, Pemuda Hidayatullah mempunyai karakteristik dan ciri khas dalam menetapkan calon pemimpin. Seperti yang penulis alami, sebagai pengurus wilayah Pemuda Hidayatullah. Paling tidak ada dua proses yang dilalui untuk menetapkan calon pemimpin.
Pertama adalah voting atau yang lazim dikenal dengan one man one vote. Proses yang kedua musyawaroh oleh dewan syuro. Proses yang kedua inilah yang menjadi penentu. Meskipun seseorang unggul dalam proses voting, belum tentu dan pasti menjadi pemimpin. Penentuannya ketika musyawaroh dewan syuro mufakat setelah mempertimbangkan dari hasil voting maupun kualitas seorang kader. Dalam proses pemilihan, tidak ada money politic. Bahkan cenderung damai dan tidak ada perseteruan. Setiap kader siap menerima keputusan mufakat dewan syuro. Prinsip yang dipegang adalah kami mendengar dan kami taat. Dalam bahasa arab mashyur disebut sami’na wa atha’na. Karena setiap kader memahami tidak ada kepentingan jangka pendek individu maupun kelompok justru yang ada mengedepankan kebaikan bersama dan kepentingan jangka panjang. Hal demikian berbanding terbaik dari apa yang terjadi pada kontestasi pemilihan umum (pemilu) yang lazim dengan politik transaksional demi mendapatkan suara.
Selanjutnya, kultur yang terbangun dari Pemuda Hidayatullah yaitu tidak pragmatis. Hal itu mewujud dalam proses berorganisasi yang berjalan. Seperti yang penulis jalani selama ini berorganisasi di Pemuda Hidayatullah. Tidak ada kepentingan sesaat untuk mendapat keuntungan bagi diri sendiri. Semua gerakan orientasinya kebermanfaatan. Program kerja yang diusung orientasinya bagaimana distribusi kebermanfaatan bisa merata melalui program arus utama yaitu pendidikan dan dakwah. Pendirian Pesma Dai di setiap daerah merupakan bagian dari ikhtiar kebermanfaatan tadi. Pada momen rakernas beberapa waktu yang lalu misalnya, setiap wilayah mendapatkan mandat untuk mendirikan Pesma Da’i. Selain itu, kebijakan politik Pemuda Hidayatullah yang non partisan memposisikan Pemuda Hidayatullah terbebas dari kepentigan pragmatis partai politik. Selain mengembangkan intelektual, dimensi spiritualitas juga ikut dikembangkan. Tercermin dari setiap kegiatan yang mewajibkan shalat lail/tahajud bagi anggota. Spiritualitas dan intelektualitas inilah yang menjadi modal utama gerak organisasi.
Dari sini, proses kepemimpinan yang berjalan di Pemuda Hidayatullah merupakan gagasan penting untuk memperbaiki kondisi negeri. Sebuah kultur yang mempunyai value yang tinggi serta sejalan dengan semangat pejuang kemerdekaan. Proses pemilihan tidak ada money politic demi posisi kepemimpinan. Tidak pragmatis praktis untuk meraup keuntungan pribadi, orientasinya gerak kebermanfaatan serta memadukan intelektualitas dan spiritulitas sebagai modal utama berorganisasi. Sebuah refleksi keyakinan, Jika ini bisa diimpelantisan dalam skala yang lebih luas, cita-cita kemerdekaan bisa diwujudkan. Apabila value tersebut konsisten dipertahankan, bukan tidak mungkin di tahun 2045 sebagai puncak bonus demografi, Pemuda Hidayatullah tampil sebagai pemimpin mewujudkan visi Indonesia emas. melahirkan generasi produktif, generasi berkualitas.
Bulan ini, segenap rakyat Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke 78. Jika kita ibaratkan usia manusia, adalah sebuah usia yang tidak lagi muda. Usia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Usia yang boleh dikata cukup untuk memberikan nasihat bijak kepada mereka yang masih terlampau muda. Jika kita kembali membuka lembaran sejarah, tepatnya 78 tahun yang lalu, ada banyak kisah heroik disaat para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Misal, kisah Bung Tomo dengan pidatonya yang fenomenal menggerakan arek Suroboyo dan pemuda lainnya di Jawa Timur untuk melawan penjajah.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 10 November 1945. Saat itu, Indonesia secara de facto sudah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Tetapi tentara sekutu datang dan diam-diam ingin kembali menguasai Indonesia. Hal demikian membuat rakyat Indonesia khususnya rakyat Surabaya berang. Waktu itu, suasana Surabaya mencekam hingga tepat pada tanggal 10 November 1945 tentara Inggris mengultimatum rakyat Indonesia untuk menyerahkan senjata. Tetapi hal itu ditanggapi dengan perlawanan. Inilah puncak perlawanan rakyat Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo menggerakan Pemuda dan masyarakat dengan orasinya yang berapi-api diiringi pekikan takbir di akhir pidato. “Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar, percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!”
Dari kisah ini, kita bisa memetik hikmah yang sangat berharga, bahwa Indonesia bisa merdeka tidak lain berkat perjuangan pahlawan yang tidak kenal lelah. perjuangan dengan penuh percaya diri, perjuangan yang dibarengi sikap tawakal kepada Allah bahwa kemenangan akan selalu diberikan kepada pihak yang benar. Sebagai rakyat Indonesia, kita mewarisi semangat itu. Perjuangan yang dibarengi sikap religius yang tinggi. Sikap itu, harusnya menjadi modal masyarakat Indonesia untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Kini, 78 tahun sudah Indonesia bebas dari belenggu penjajah. menikmati manisnya buah perjuangan pahlawan. Seperti ilustrasi singkat diatas, usia 78 tahun bukanlah usia muda. Patut menjadi pertanyaan refleksi, sudahkah kita merdeka dengan sebenar-benarnya makna merdeka serta sesuai dengan cita-cita kemerdekaan?
Potret Kepemimpinan Nasional
Dalam alinea keempat yang termaktub pada pembukaan undang-undang dasar (UUD) I945 diuraikan bahwasanya, tujuan kemerdekan adalah melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Pertanyaan paling fundamental, sudahkan cita-cita tersebut mampu diwujudkan? Jika kita objektif, jawabannya pasti belum. Mungkin –realitas di lapangan—poin pertama sudah mampu diwujudkan meskipun dalam praktiknya belum optimal. Fakta diatas memunculkan pertanyaan lanjutan, apa penyebab utama sehingga cita-cita itu belum mampu diwujudkan? Jika dianalisis dengan cermat, ada sejumlah persoalan kaitannya dengan cara-cara memperoleh kekuasaan di negeri ini (praktik politik). Sebut saja, politik uang atau lazim dikenal dengan money politic.
Di Indonesia, politik uang tidak sekadar eksis, melainkan marak dan masif. Sampai-sampai pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi menuliskan dalam bukunya Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery (2019) dengan mengutip pernyataan salah satu mantan anggota DPR yang diwawancarainya. Bunyi pernyataannya begini: “potong jari saya apabila terdapat anggota legislatif saat ini yang terpilih tanpa melakukan pembelian suara!” Pernyataan tersebut menunjukan bahwa pembelian suara, yang lazim disebut dengan politik uang (money politics), eksis dalam politik Indonesia. Akibat dari proses politik yang dilalui dengan jalur transaksional akan memunculkan persoalan lanjutan yaitu korupsi. Uang yang dikeluarkan pada saat pemilu akan diupayakan untuk balik modal atau bahkan surplus dengan melakukan korupsi anggaran negara. Akhir tahun lalu, Transparency International, sebuah lembaga non pemerintah berskala internatonal yang kredibel merelease hasil surveinya menempatkan Indonesia di posisi ke lima sebagai negara terkorup di Asia tenggara. Alhasil dampak perilaku korup tersebut membuat semakin melebarnya ketimpangan sosial-ekonomi di tengah masyarakat.
Berdasarkan laporan Oxfam dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang dipublikasikan pada Februari 2017, “dalam dua dekade terakhir, ketimpangan antara kelompok terkaya dan kelompok yang lain di Indonesia mengalami peningkatan yang lebih cepat dibanding dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Jumlah miliuner di Indonesia meningkat cepat dari satu orang pada tahun 2000 menjadi 20 orang pada tahun 2016. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari 100 juta penduduk termiskin.” Bahkan, dari saking banyaknya kekayaan para miliuner ini, jumlah uang yang mereka hasilkan cukup untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Suatu ketimpangan antar masyarakat yang bukan sekadar ketimpangan biasa, melainkan ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat ekstrem. Memajukan kesejahteraan umum yang merupakan bagian dari cita-cita kemerdekaan masih jauh panggang dari api. Yang terjadi justru yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan, penyebab utama ketimpangan sosial-ekonomi ini karena cara-cara memperoleh kekuasaan/praktik politik yang tidak baik dan laiknya mata rantai yang sulit diputus. Praktik politik yang tidak selaras dengan semangat perjuangan pahlawan; ketulusan dan kejujuran.
Kultur Kepemimpinan Pemuda Hidayatullah; Sebuah Gagasan
Sejak kelahiraanya, Pemuda Hidayatullah mempunyai visi membangun generasi Rabbani. Sebuah visi yang memadukan dimensi spiritualitas dan intelektualitas dalam satu tarikan nafas. Visi besar diiringi cita-cita yang besar. Berikutnya, yang menarik dari Pemuda Hidayatullah adalah kultur pemilihan pemimpin dan proses kepemimpinan yang berjalan. Tidak seperti proses pemilihan pada umumnya, Pemuda Hidayatullah mempunyai karakteristik dan ciri khas dalam menetapkan calon pemimpin. Seperti yang penulis alami, sebagai pengurus wilayah Pemuda Hidayatullah. Paling tidak ada dua proses yang dilalui untuk menetapkan calon pemimpin.
Pertama adalah voting atau yang lazim dikenal dengan one man one vote. Proses yang kedua musyawaroh oleh dewan syuro. Proses yang kedua inilah yang menjadi penentu. Meskipun seseorang unggul dalam proses voting, belum tentu dan pasti menjadi pemimpin. Penentuannya ketika musyawaroh dewan syuro mufakat setelah mempertimbangkan dari hasil voting maupun kualitas seorang kader. Dalam proses pemilihan, tidak ada money politic. Bahkan cenderung damai dan tidak ada perseteruan. Setiap kader siap menerima keputusan mufakat dewan syuro. Prinsip yang dipegang adalah kami mendengar dan kami taat. Dalam bahasa arab mashyur disebut sami’na wa atha’na. Karena setiap kader memahami tidak ada kepentingan jangka pendek individu maupun kelompok justru yang ada mengedepankan kebaikan bersama dan kepentingan jangka panjang. Hal demikian berbanding terbaik dari apa yang terjadi pada kontestasi pemilihan umum (pemilu) yang lazim dengan politik transaksional demi mendapatkan suara.
Selanjutnya, kultur yang terbangun dari Pemuda Hidayatullah yaitu tidak pragmatis. Hal itu mewujud dalam proses berorganisasi yang berjalan. Seperti yang penulis jalani selama ini berorganisasi di Pemuda Hidayatullah. Tidak ada kepentingan sesaat untuk mendapat keuntungan bagi diri sendiri. Semua gerakan orientasinya kebermanfaatan. Program kerja yang diusung orientasinya bagaimana distribusi kebermanfaatan bisa merata melalui program arus utama yaitu pendidikan dan dakwah. Pendirian Pesma Dai di setiap daerah merupakan bagian dari ikhtiar kebermanfaatan tadi. Pada momen rakernas beberapa waktu yang lalu misalnya, setiap wilayah mendapatkan mandat untuk mendirikan Pesma Da’i. Selain itu, kebijakan politik Pemuda Hidayatullah yang non partisan memposisikan Pemuda Hidayatullah terbebas dari kepentigan pragmatis partai politik. Selain mengembangkan intelektual, dimensi spiritualitas juga ikut dikembangkan. Tercermin dari setiap kegiatan yang mewajibkan shalat lail/tahajud bagi anggota. Spiritualitas dan intelektualitas inilah yang menjadi modal utama gerak organisasi.
Dari sini, proses kepemimpinan yang berjalan di Pemuda Hidayatullah merupakan gagasan penting untuk memperbaiki kondisi negeri. Sebuah kultur yang mempunyai value yang tinggi serta sejalan dengan semangat pejuang kemerdekaan. Proses pemilihan tidak ada money politic demi posisi kepemimpinan. Tidak pragmatis praktis untuk meraup keuntungan pribadi, orientasinya gerak kebermanfaatan serta memadukan intelektualitas dan spiritulitas sebagai modal utama berorganisasi. Sebuah refleksi keyakinan, Jika ini bisa diimpelantisan dalam skala yang lebih luas, cita-cita kemerdekaan bisa diwujudkan. Apabila value tersebut konsisten dipertahankan, bukan tidak mungkin di tahun 2045 sebagai puncak bonus demografi, Pemuda Hidayatullah tampil sebagai pemimpin mewujudkan visi Indonesia emas. melahirkan generasi produktif, generasi berkualitas.
Komentar
Posting Komentar