Khazanah Intelektual Islam



Terus terang, sudah sejak lama saya memimpikan untuk mengulas karya berikut. Tapi, karena rasa malas dan kesibukan yang dibuat-buat, keinginan itu di diamkan berlarut-larut. Sejak pertama berjumpa buku ini di perpustakaan sekolah, terus terang saya dibuat jatuh cinta. Betapa tidak, saya diajak mengembara dalam belantara khazanah intelektual Islam yang begitu kaya nan megah. Penuh debar dan mengesankan.


Buku ini semacam antologi pemikiran emas cendikiawan Muslim klasik --Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan cendikiwan besar lainnya-- yang Cak Nur alih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Diawal halaman, Cak Nur menempatkan bab mukaddimah sebagai pembuka. Bab yang halamannya sangat panjang. Dan saya kira, bab ini yang menarik untuk diulas.


Bab ini dimulai dengan kisah Umar Bin Khattab RA. Khalifah ketiga juga sehabat dekat Nabi Muhammad saw. Dalam konstruksi Cak Nur, Umar ialah sahabat nabi yang paling berpegang teguh kepada Al-Quran. semasa hidupnya, Nabi menyebut bahwa Umar sebagai seorang yang paling mungkin menjadi utusan Tuhan seandainya Nabi sendiri bukanlah Rasul Allah yang terakhir. Umar dikenal sebagai Sahabat Nabi dan Khalifah ketiga yang sangat dekat dengan kalangan Al-Qurra’ wal Huffadz (para ahli baca dan penghafal Al-Quran) karena perhatiannya yang sangat medalam kepada Al-Quran. Umar tercatat paling keras mencegah kaum muslimin menulis sesuatu termasuk Hadist selain daripada kitab suci itu.


Tetapi juga nampaknya, diantara para Sahabat Nabi, tidak ada yang berfikiran kreatif seperti Umar. Kreatifitas itu memberikan kesan kuat sekali bahwa Umar sekalipun beriman teguh, namun tidak dogmatis. Umar adalah seorang beriman yang intelektual, yang dengan intelektulalitasnya itu berani mengemukakan ide-ide dan melaksanakan tindakan inovatif yang sebelumnya tidak dicontohkan oleh Nabi, bahkan yang kadang malah bertentangan. Dengan pengertian harfiah Al-Kitab dan as Sunnah.


Contoh ide inovatif Umar yang tanpa preseden di zaman Nabi ialah yang bersangkutan dengan kitab suci sendiri. Umar mengusulkan kepada Abu Bakar, pada waktu diakhir jabatan sebagai Khalifah pertama, untuk membukukan Al-Quran yang pada waktu itu masih berupa catatan-catatan dan hafalan pribadi yang tersebar pada banyak para Sahabat Nabi, menjadi sebuah mushaf atau buku berjilid. Mula-mula Abu Bakar menolak ide semacam itu, persis karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi sendiri semasa hidupnya. Tetapi karena sebab desakan Umar yang begitu kuat, disertai alasan-alasan yang tepat dan setelah dimusyawarahkan dengan sahabat-sahabat yang lain, usul Umar itu diterima dan dilaksanakan.


Zaid Bin Tsabit seorang sahabat yang terkenal keahliannya dalam tulis-baca dan disebabkan oleh kedekatannya kepada Nabi dalam hal pencatatan wahyu setiap kali turun, ditunjuk untuk memimpin panitia pembukuan Al-Quran.


Sudah jamak dipahami bersama, bahwa keutuhan Al-Quran ialah warisan intelektual Islam terpenting dan paling berharga. Sekalipun mushaf yang ada sekarang secara istilah disebut sebagai mushaf menurut penulisan Usman (al-Mushaf A’la al rasm al-Utsmani) tetapi gagasan pembukuannya timbul mula-mula dari pikiran inovatif Umar Bin Khattab RA.


Karena ide-ide kreatifnya, Umar diakui oleh para Sarjana muslim sendiri maupun kalangan bukan muslim sebagai orang kedua yang paling menentukan jalannya sejarah Islam. Bahkan, sebagian kalangan menyebut Umar ialah reformis Islam. Golongan pemikir modernis misalnya sangat mengagumi Umar. Karena tidak saja ia menangkap semangat Islam yang menyeluruh. Tetapi karena juga ia berhasil menciptakan masyarakat yang menurut jargon-jargon modern; demokratis dan sosialistis.


Namun amat disayangkan, bahwa karena hal-hal yang harus dikaji lebih mendalam, keadaan gemilang masa Umar itu tak lama berlangsung, bagaikan pergi dengan kepergian Umar. Utsman bin Affan RA penggantinya, tercatat sebagai Khalifah yang mempunyai rekam jejak kelebihan dan –yang tidak sedikit-- kekurangan. Sejarah merekam, kelebihan yang sangat menonjol di dalam kepemimpinan Utsman sebagai Khalifah ialah selesainya pembukuan Al-Quran dalam bentuk mushaf yang kemurniannya terjaga sampai saat ini. Sehingga mushaf yang ada sekarang secara istilah disebut mushaf menurut penulisan Utsman (al-Mushaf ala al-rasm al-Utsmani)


Di sisi lain, kepemimpinan Utsman sebagai Khalifah juga tidak lepas dari kelemahan. Salah satunya ialah Utsman agaknya tidak berdaya menghadapi desakan-desakan kelompok tertentu dari kalangan bani Umayyah. Puaknya sendiri dalam lingkungan suku Quraisy dari Makkah yang ingin meningkatkan pengaruh dan memperbesar peranan mereka sendiri dalam masyarakat Islam yang baru tumbuh dan berkembang itu. Mulailah bermunculan berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada Utsman yang bertindak kurang adil dan menderita nepotisme. Keadaan semakin parah karena kenyataan bahwa bani Umayyah dulu di Makkah merupakan saingan utama bani Hasyim puak Nabi Muhammad SAW dalam berebut pengaruh kepemimpinan Quraisy.


Karena berbagai tindakan dan kebijaksanaannya yang dipandang banyak kaum muslimin kurang adil, Utsman dihadapkan kepada berbagai gerakan protes yang datang dari hampir seluruh penjuru dunia Islam. Kebanyakan kelompok pemrotes itu menghendaki turunnya Utsman dari kursi kekhalifahan. Tetapi ada pula yang menghendaki tidak kurang dari penyingkiran Utsman dengan paksa. Para pembesar sahabat seperti Ali bin Abi Thalib RA, nampaknya berusaha untuk menghalangi kelompok ekstrimis itu dan menawarkan penyelesaian dengan berkompromi. Tetapi rupanya tidak berhasil. Sekelompok orang-orang ekstrim dari Mesir datang ke Madinah. Dan setelah tidak berhasil memaksa Utsman turun dari jabatannya, mereka membunuh Khalifah ketiga itu. Kejadian demikian memberikan kenyataan bahwa sebuah bencana besar telah terjadi (al-Fitnatul Kubro) dengan akibat yang amat jauh dan meluas tidak saja dalam politik tetapi juga dalam hal yang menyangkut ajaran dan pemahaman agama Islam itu sendiri, yang pengaruhnya menentukan jalannya sejarah Islam sampai saat ini.


Pembunuhan Utsman yang bermotifkan politik itu segera menimbulkan malapetaka politik yang lebih besar. Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai pengganti Utsman menjadi khalifah Rasulullah SAW yang keempat. Hampir dikata, seluruh umat mendukungnya. Kecuali kelompok bani Umayyah yang dipimpin Muawiyah ibn Abi Sufyan gubernur di Damaskus, Syiria. Mereka menuntut untuk menghukum pembunuh Utsman. Kenyataan makin gawat bagi ali karena dalam kalangan kelompok pendukungnya terdapat orang-orang yang yang meskipun tidak jelas terlibat dalam pembunuhan utsman tetapi berpendapat bahwa pembunuhan Utsman dapat dibenarkan menurut agama. Alasan mereka ialah karena kebijaksanaannya yang kurang adil itu Utsman telah melanggar ajaran dasar Islam dan melakukan dosa besar juga membahayakan umat. Mereka ini terdiri dari kelompok ekstrimis di atas.


Perseteruan semakin memuncak antara kelompok Ali di Madinah dan kelompok Muawiyah di Damaskus. Perang tidak terhindarkan lagi sehingga terjadilah huru-hara (al-Fitnatul Kubro) yang kedua dalam Islam. Awalnya, kelompok Ali berhasil menggunguli lawannya di bidang militer. Tetapi ia mementingkan kesatuan umat dan menerima usul kompromi dari kubu Muawiyah. Kelompok Ali tidak menyadari, prosedur kompromi yang diusulkan kubu Muawiyah mengandung kelemahan. Sehingga dengan mudah dimanfaatkan oleh kubu Muawiyah. Dengan akibat, Ali secara de jure kehilangan legitimasi politiknya dan legitimasi itu beralih ke Muawiyah. Kejadian berikutnya yang kemudian dikenal sebagai peristiwa shiffin (nama sebuah tempat) itu menyebabkan para pendukung Ali pengikut garis keras (kelompok esktrimis diatas) melancarkan protes kemudian bertindak sendiri dengan membentuk kelompok ketiga yang kemudian terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (pembelot).


Momentum terbentuknya kelompok Khawarij inilah menandai babak baru di dalam panggung sejarah dunia Islam. Kisah diatas, hanyalah cuplikan pendek dari rangkaian sejarah dunia Islam yang disusun Cak Nur di dalam bab Mukaddimah, khazanah Intlektual Islam. Lain kali, (semoga) ada kesempatan meneruskannya. Tabik!

Komentar

Postingan Populer