Filsafat Stoikisme



Beberapa hari yang lalu, tetiba datang kabar kurang mengenakkan menghampiri saya. "kak, nenek tiba-tiba pingsan. Sekarang mau dirujuk ke rumah sakit. Kondisinya kritis." Kira-kira seperti itu pesan yang saya terima dari adik perempuan. Karuan saja saya kaget. Mengingat beberapa hari sebelumnya kondisinya masih sehat-sehat. Terus terang saja, saya cemas. Membayangkan skenario terburuk. Kepergian orang-orang tersayang selalu meninggalkan bekas luka yang sulit sembuh. Saya punya pengalaman pahit soal ini. Dan saya selalu berharap --bahkan berdo'a kepada Allah-- untuk menunda kepergian orang-orang tersayang.


Mengawali bulan ramadhan dengan kabar kurang baik tentu bukan pilihan bagi setiap orang. Termasuk bagi diri saya. Rasa cemas dan khawatir membuat momen buka dan sahur rasanya kurang nikmat. Seperti ada beban. Humor tidak lagi lucu. Senyum menjadi sulit, yang ada rasa cemas dan khawatir tidak berkesudahan. Dalam kondisi demikian, saya mencoba menenangkan diri. Merefleksikan diri sejenak. Berdamai dengan keadaan dan mencoba buang jauh-jauh rasa khawatir tersebut. Saya menjadi ingat ajaran filsafat stoikisme. Meskipun belum pernah membaca ajarannya secara utuh, paling tidak saya paham ajaran kebajikannya.


Dalam filsafat stoikisme, ada yang disebut faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah sesuatu yang sepenuhnya bisa kita kendalikan. Ucapan, tindakan dan lainnya. Sedangkan faktor eksternal adalah sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Persepsi orang terhadap kita. Penilaian orang terhadap kita dan lainnya. Setelah memahami dikotomi kendali ini, pikiran saya jauh Lebih tenang. Bahwa ada sesuatu diluar kendali kita. Barang yang rusak, kepergian orang. Ajaran ini sebetulnya juga sangat relevan dalam Islam. Yaitu mengenai konsep ikhtiar-tawakal dan takdir. Sesuatu yang akan menjadi takdir kita, ia akan mendekat dengan sendirinya. Jangan khawatir. Begitu kira-kira qoul yang cukup populer dalam Islam.


Epictetus, filsuf stoik berujar, "Amor Fati," cintai takdirmu. Dalam bahasa Islamnya, Menjadi orang yang ikhlas dalam setiap keadaan. Saya kira, filsafat stoikisme adalah obat yang sangat ampuh, minimal untuk mengurangi kecemasan dan kekhawatiran yang datang dan Membantu kita untuk berpikir lebih jernih. Di hari kedua Ramadan ini, saya masih sangat berharap dan berdoa kepada Allah SWT agar nenek disembuhkan yang kondisinya saat ini sedang kritis. Bisa kembali berkumpul bersama keluarga dan orang-orang tersayang. Semoga bermanfaat ! []

Komentar

Postingan Populer