Filsafat Puasa



Dalam satu hadist yang cukup masyhur, Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam menyampaikan "Kam Min Shoimin Laisa Lahu min shiyamihi Illal Ju' Wal 'atos." Berapa banyak (ummatku) yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja. Hadist diatas tidak hadir begitu saja dari realitas sosial yang hampa, akan tetapi sindiran Rasulullah kepada umatnya yang menyia-nyiakan bulan dibukanya pintu Rahmat, bulan dimana berkesempatan memanen pahala sebanyak-banyaknya. Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Kecuali sekedar lapar dan dahaga saja.


Hal demikian juga digambarkan oleh Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam satu buah karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin. Imam Al-Ghazali secara terperinci menjelaskan fenomena masyarakat Muslim ketika berpuasa di bulan Ramadhan. Kurang lebih, Imam Al-Ghazali membaginya menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama Shaumul Umum, puasanya orang awam. Yaitu yang berpuasa sekedar menggugurkan kewajiban saja. Tidak minum, tidak makan dan tidak memenuhi kebutuhan syahwat. Tingkatan kedua Shaumul Khusus, puasanya orang khusus. Tingkatan ini jauh lebih baik dari tingkatan pertama. Tingkatan ini tidak saja menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi menahan anggota tubuh, baik telinga, lidah, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan yang mengarah kepada kemaksiatan. Tingkatan ketiga yaitu Shaumul Khususil Khusus, puasanya orang paling khusus. Tingkatan puasa yang paling tinggi. Pikiran dan hatinya semata-mata untuk Allah SWT.


Seringkali, kita lalai terhadap ibadah puasa ini. Tidak menutup kemungkinan terjadi pada diri saya. Rutinitas tahunan --yang mungkin oleh beberapa orang-- membosankan. Kita tidak mencoba menyelami kedalaman makna dan hakikat puasa, yang oleh Ulama disebut sebagai Syahru Tarbiyah. Tentu, tingkatan puasa yang diuraikan oleh Imam Al-Ghazali patut menjadi refleksi. Sudah berada di tingkatan yang mana ibadah puasa kita. Puasa yang tidak sekedar menggugurkan kewajiban, akan tetapi puasa yang betul-betul mempunyai kedalaman makna, puasa yang betul-betul membebaskan dari segala bentuk belenggu penghambaan kepada hawa nafsu, tetapi sebagai titik tolak untuk mencapai hamba yang Muttaqin, mencapai derajat Maqomam mahmuda. []

Komentar

Postingan Populer