NASIB

@JundyN

Pada suatu pagi yang ranum, saya terbangun dari tidur yang panjang. Saya kaget begitu saja, jam menunjukkan tidak lagi pagi. Arah pandangan mengitari seluruh ruangan. Duduk sejenak, lalu menyeduh kopi yang tidak terlalu pahit rasanya.

Sembari menyeruput kopi, saya merenung, apa yang akan menimpa saya 10-15 tahun kedepan. Entah! Saya berpikir lama sekali. apa iya nasib saya baik? Apa iya nasib saya bisa membantu keluarga yang amat saya cintai? Pertanyaan tersebut terus berkelindan.

Setelah seduhan kopi mulai dingin, saya mengaduknya secara perlahan. Saya seruput sekali lagi. kopi mulai tidak nikmat. Sentuhan romansa aroma kopi juga mulai pekat. "Ah, biarkan saja." ucapan lirih dalam hati, seperti membius dalam dada. Acap kali saya membaca ulang perjalanan hidup. setidaknya 5 tahun terakhir. Terkadang saya menyesali, karena belum melakukan hal-hal yang bisa dikenang dalam hidup. Termasuk melakukan hal-hal yang sederhana.

Saya teringat, betapa pesan Kiai belum sepenuhnya menyentuh lorong-lorong sepi dalam hati. "Anak-anakku bawalah buku dan pulpen Kemana saja. jangan jadi KECOA, kumpulan calon orang-orang awam. dan ingat, hanya orang-orang berkualitas yang mampu naik pentas" pesan tersebut begitu segar dalam ingatan, mengajak sesiapun santri untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Kali ini kopi benar-benar dingin. Tidak terasa jarum jam menunjukkan 07.10. Yang artinya saya harus bergegas bersiap-siap melakukan rutinitas harian. Tiba-tiba saya teringat _qoutes_ sastrawan kawakan Indonesia, Seno Gumira Ajidarma. "Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisikan kemacetan di jalan. Ketakutan datang terlambat ke kantor. Tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat. Kehidupan seperti mesin yang akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa."

Setelah semuanya siap, dan berusaha mengontrol emosi tentang rutinitas tidak seperti apa yang dikatakan Seno. ternyata kopi yang saya seduh belum sepenuhnya habis. Seakan-akan ia mengajak dialog dalam sepi, mengajak merenung tentang nasib. Kembali terbetik pertanyaan. "Apa karena saya banyak menuntut kepada Allah?" sehingga ketakutan tentang masa depan terus muncul dalam benak. Bukankah Allah maha pengasih? Bukankah nasib itu dibentuk? Pertanyaan belum sempat terjawab. Saya seruput kopi yang dingin tadi. Kali ini rasanya begitu hambar. Ampasnya tidak sengaja masuk ke mulut. Rasanya benar-benar pahit. []

Komentar

Postingan Populer